Bulan Suro dianggap keramat? sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari

 

Bulan Suro dianggap keramat? sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari
Bulan Suro dianggap keramat? sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari

Bulan Suro dianggap keramat? sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari. Suku Jawa merupakan kelompok suku terbesar yang menghuni pulau jawa. Suku Jawa dominan ada di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebagian kecil tersebar ke daerah lain bahkan ke luar pulau seperti yang berada di daerah lampung, ujung selatan Pulau Sumatera.

Masyarakat Jawa mempunyai beragam budaya seperti cara bertutur kata, berbusana, dan kesenian memiliki ciri khas sendiri. Bahasa yang digunakan keseharian menggunakan bahasa Jawa, sedangkan cara berbusana secara tradisional seperti berpakaian batik, kebaya, jarik, mengenakan beskap dan lainnya. Untuk kesenian terdapat gamelan, tari-tarian, ketoprak, wayang dan lain sebagainya

Masyarakat Jawa juga mempunyai sistem penamaan hari pasaran dan penanggalan atau sistem kalender sendiri. Untuk hari pasaran diantaranya Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Sedangkan pada sistem penanggalan juga mempunyai bulan yang berjumlah 12 seperti yang ada di kalender Masehi. Bulan Suro adalah salah satu bulan di antara itu.

Kalender Jawa dibuat oleh Sultan agung, penguasa atau raja di Kerajaan Mataram kala itu. Adapun asal-usul kalender Jawa sangat erat hubungannya dengan Kalender Islam. Maka penting untuk diketahui terlebih dulu sejarah kalender Islam. Bulan Suro yang dianggap keramat, sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari

Bulan Suro dianggap keramat? sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari
Bulan Suro dianggap keramat? sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari


Sejarah kalender Islam yang menjadi awal mula adanya Bulan Suro yang dianggap keramat, sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari 

Mengutip tulisan Dian Widiyanrko (Republika.com, 02 Sep 2019), sejarah kalender Islam dimulai dari zaman gubernur abu Musa Al Asy'ari yang menulis surat kepada Pemimpin umat Islam Khalifah Umar bin Khattab Ra. Sebagai salah satu pejabat di pemerintahan Khalifah Umar, Gubernur Abu Musa Al Asy'ari sering mendapat surat dari Khalifah Umar. Namun surat-surat yang diterimanya tersebut tidak ada tahunnya, sehingga ia merasa kesulitan dalam pengarsipan. Berharap dapat jalan keluar, Gubernur Abu Musa Al Asy'ari kemudian mengirimkan surat kepada Khalifah Umar bin Khatab Ra. dan menyampaikan apa yang menjadi kegundahannya. 

Diketahui saat itu pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab Ra. Masih menggunakan penanggalan lama yaitu kalender Arab sebelum Islam. Kalender pra-islam ini hanya ada tanggal dan bulan saja, tidak mengenal angka tahun. Untuk menandai tahun, biasanya dengan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di tahun itu. 

Baca juga: Amalan pembuka pintu rejeki

Sebagai contoh, yaitu kelahiran Nabi Muhammad SAW yang tidak disebutkan tahunnya karena tahun memang tidak dikenal oleh masyarakat kala itu, maka tahun kelahiran Rasulullah ini disebut Tahun Gajah. Penyebutan tahun gajah ini dinisbatkan adanya usaha penghancuran Ka’bah oleh Abrahah bersama pasukan gajahnya. Namun usaha Abrahah tidak berhasil karena adanya sekawanan burung ababil yang memukul balik, memporak porandakan Abrahah dan pasukan bergajahnya.

Pada jaman pra-islam yang masih jahiliyyah (bodoh ilmu agama), penanggalan atau kalender, bulan maupun harinya bisa berubah-ubah karena bisa maju atau mundur. Ketika Islam masuk dan diterima masyarakat, oleh Nabi Muhammad Kalender tersebut disempurnakan diantaranya dengan mengembalikan bulan menjadi 12, dan mengawali bulan melalui sistem hilal atau melihat posisi bulan.

Kalender pra-Islam yang sudah semakin baik tetap digunakan hingga sepeninggal Rasulullah hingga pada pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab Ra. Namun kalender tersebut masih ada hal seperti yang dikeluhkan oleh gubernur Abu Musa Al Asy'ari, yaitu tidak ada tahun untuk memudahkan administrasi. 

Khalifah Umar Mengundang Sahabat Rasulullah Untuk Berdiskusi 

Merespon keluhan salah satu pejabatnya tersebut, pemimpin Islam tertinggi Khalifah Umar kemudian mengumpulkan para sahabat Rasulullah lainnya untuk berdiskusi mencari formula yang tepat. Sahabat Rasulullah yang diundang diantaranya sahabat Ali bin Abi Thalib RA, sahabat Utsman bin Affan RA, sahabat Abdurrahman bin Auf RA, Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas RA, Sahabat Zubair bin Awwam RA, dan Sahabat Thalhan bin Ubaidillah RA.

Sahabat sepakat kalender pra-Islam yang sudah diperbaiki Rasulullah tetap digunakan. Diskusi berlanjut membahas kapan awal tahun dimulai. Terdapat beberapa usulan diantaranya berdasar kelahiran Rasulullah, sahabat lain ada yang memberi usulan peristiwa isra’ mi’raj, sahabat juga ada yang berpendapat peristiwa Rasulullah menerima wahyu atau ketika Beliau diangkat jadi nabi juga bisa menjadi momentum dimulainya awal tahun, usulan sahabat yang lain menyatakan hari wafatnya Rasulullah saja yang digunakan.

Sahabat Ali bin Abi Thalib Ra yang turut hadir juga memberikan sumbang sih pemikiran dalam diskusi monumental tersebut. Sahabat memberikan usulan peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah) sebagai momentum yang tepat untuk digunakan. Peristiwa hijrahnya Rasulullah merupakan peristiwa besar dalam sejarah Islam. Peristiwa hijrah Rasulullah dan pengikutnya adalah untuk menegakkan Panji Islam dan menjadi simbol perpindahan dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat madani yang lebih beradab di bawah naungan Islam. 

Setelah mendengar pemaparan sahabat Ali bin Abi Thalib, maka sahabat yang lain setuju menjadikan peristiwa hijrahnya Rasulullah 17 tahun lalu sebelum diskusi tersebut (683 M) sebagai awal tahun. Karena hijrah menjadi dasarnya pembuatan tahun di kalender Islam, maka kalender tersebut dinamakan pula dengan nama kalender hijriah. 

Kalender Hijriah menggunakan sistem peredaran bulan atau qomariyah, maka perhitungan waktunya dimulai saat matahari terbenam di waktu Maghrib. Berbeda dengan Masehi yang memulai waktunya pukul 00.00 atau 12 malam.

Bulan Suro dianggap keramat? sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari
Bulan Suro dianggap keramat? sejarahnya ternyata ada hubungannya nama-nama hari


Asal mula kalender Jawa

Kalender Islam masuk ke Nusantara khususnya di Pulau Jawa 1000an tahun kemudian. Kala itu masyarakat Jawa telah memeluk Islam dibawah pemerintahan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Tepatnya di Tahun 1035 Hijriah atau 1626 Masehi, Sultan Agung yang menganggap kalender Islam lebih baik kemudian menggunakannya untuk menggantikan kalender saka di masa itu.

Namun Sultan Agung Raja yang sudah beragama Islam ini tidak menggunakan hitungan tahun hijriah, tapi tetap menggunakan hitungan tahun saka yang kala itu mencapai hitungan tahun ke 1547. Penggunaan kalender Islam dengan tetap menggunakan hitungan tahun saka ini disebut kalender Jawa atau kalender Sultan Agung.

Kalender Islam versi Jawa yang diterapkan Sultan Agung secara hitungan hari maupun bulan sama, mungkin dengan maksud memudahkan perhitungan masyarakat kala itu sehingga tetap menggunakan tahun saka. Walau hitungan tahunnya menggunakan tahun saka, namun awal tahun tidak seperti tahun saka lampau yang dimulai setelah hari raya Nyepi, tahun saka versi kalender Jawa atau kalender Sultan Agung dimulai pada Bulan Muharram Bulan Suro tanggal 1. 

Bulan Suro tidak keramat, ini asal-usulnya

Bulan Suro atau kata “Suro" berasal dari kosa kata atau bahasa Arab “Asyura" yang artinya sepuluh. Hari kesepuluh atau Asyura pada bulan Muharram memang memiliki keistimewaan tersendiri bagi umat Islam untuk menjalankan berbagai amalan Sunnah yang sangat besar pahalanya. 

Orang Jawa kesulitan untuk menghafal pelafalannya Asyura sehingga menyebutnya dengan sebutan Suro atau Bulan Suro.

Peradaban Islam yang telah maju juga membawa dampak baik lainnya, diantaranya penamaan hari-hari seperti yang digunakan masyarakat Jawa mengikuti nama bilangan Arab/Islam, yaitu:

1=ahad

2=Itsnayn >Senin

3=Tsalaatsa > Selasa

4=Arbaa-a > Rabu

5=Khamsah > Kamis

7=Sabt > Sabtu

Awalnya Ahad merupakan hari ke satu sesuai maknanya, hari kedua adalah hari Senin berasal dari kata Itsnayn yang bermakna 2, hari ketiga adalah Selasa yang berasal dari kata Tsalaatsa' yang berarti 3, hari keempat adalah hari Rabu yang berasal dari kata Arbaa-a yang maknanya 4, hari kelima adalah Kamis yang berasal dari kata Khamsah yang maknanya 5, dan hari ketujuh adalah hari Sabtu yang berasal dari kata Sabt yang bermakna 7. Adapun hari jemuah diambil diambil dari kata Jumu'ah.

Baca juga:

Cerita orang  tidak berhijab disiksa dilihat oleh orang yang mati suri

Orang Jawa memang sepertinya agak kesulitan untuk pengucapan kata dari bahasa asing, sehingga banyak terjadi kata yang muncul tidak sama persis dengan kata aslinya. Sebagaimana nama-nama hari yang ada sekarang, tampaknya itulah permulaannya dan hingga kini digunakan secara luas dan menjadi nama hari seluruh masyarakat Indonesia.

Portugis Membawa Misi

Kedatangan penjajah Portugis ke Nusantara yang juga membawa misi pengkristenan telah mengubah hari Ahad menjadi hari Domingo yang artinya hari beribadah. Maka sejak saat itu penyebutan hari Ahad mulai dihilangkan diganti dengan Domingo. Domingo lambat laun menyebar dan oleh Orang Jawa yang kesulitan mengucapkan Domingo akhirnya menjadi Minggu. Orang Portugis juga menjadikan awal hari menjadi hari Senin, padahal makna Senin adalah 2. Sedangkan Ahad yang bermakna 1 dijadikan hari ketujuh dengan diganti namanya menjadi Domingo atau Minggu.

Kesimpulan Bulan Suro tidak keramat, ternyata ada hubungannya dengan nama hari ini

Masyarakat Jawa di masa lalu yang telah menganut Islam menggunakan penanggalan sendiri. Penanggalan diambil atau diadopsi dari kalender Islam. Raja Mataram Sultan Agung kala itu menggabungkan kalender Islam dengan tetap menggunakan tahun saka. Penggunaan tahun saka ini diduga untuk memudahkan perhitungan tahun yang kala itu sudah ada.

Kalender yang diadopsi dari kalender Islam disebut kalender Jawa atau kalender Sultan Agung. Meski tahun tetap menggunakan tahun saka, namun permulaannya berbeda dengan tahun saka lampau. Tahun saka lampau dimulai setelah Nyepi, sedang versi kalender Jawa dimulai pada bulan Muharram atau suro.

Bulan Suro atau kata “Suro" berasal dari kosa kata atau bahasa Arab “Asyura" yang artinya sepuluh. Hari kesepuluh atau Asyura pada bulan Muharram memang memiliki keistimewaan tersendiri. 

Orang Jawa kesulitan untuk menghafal pelafalannya sehingga menyebutnya dengan sebutan Suro atau Bulan Suro.

Portugis telah mengubah hari Ahad menjadi Minggu. Ahad yang berarti 1 atau hari kesatu telah dijadikan hari terakhir. Sedangkan hari Senin yang bermakna 2 dijadikan hari pertama tidak sesuai maknanya. Hal tersebut dilakukan karena ada misi pengkristenan.

0 comments

Post a Comment